Selasa, 05 Oktober 2010

Tugas Cerpen -__-

Uhuyyy akhirnya cerpen gue untuk tugas Bahasa Indonesia dari Bu Nova, guru yang lucu dan favorit anak-anak...dengan penuh haru dan bangga...jadi juga. Biar gue sering nulis cerpen juga,tapi masalah inspirasi dan menuangkannya itu gak bisa diatur semaunya lah ya bo'. Makanya gue baru bisa dapet ilham pas bentar lagi deadline pengumpulan cerpen (baca: kayaknya sih besok). Gue lagi gandrung sama cerpen-cerpen nya Seno Gumira Ajidarma. Itu lho..cerpenis terkemuka yang gaya bahasanya ilusionis banget sekaligus irrasional dan ciamik banget. Dan kegandrungan gue ini bisa lo liat dari cerpen gue di bawah ini. Ngomong-ngomong, untuk Bu Nova yang udah menugaskan gue sebagai ketlas harus mengkoordinir tugas cerpen anak-anak sekelas sampe jadi buku antologi cerpen sekelas...thanks -____-.


Surat Untuk Tuhan

Di negeri ini, Negeri Bukan Dongeng, untuk berkomunikasi selain secara langsung, orang-orang hanya butuh selembar kertas, pena dan...aku. Seekor merpati pos.
Tentu saja merpati pos di negeri ini bukanlah hanya aku seekor. Aku dan kawananku membentuk semacam populasi terhormat di negeri ini. Bagaimana tidak, tanpa kami, alangkah kacau komunikasi dalam dan luar Negeri Bukan Dongeng. Kinerja kami tak perlu diragukan lagi. Berpadu dengan kecepatan dan. Hari ini kirim surat, hari ini pula sampai. Imbalan untuk kami cukup dengan makanan dan minuman khas kami setiap sampai satu surat. Konon, begitulah adanya kepiawaian ras kami-ras Delbar asli Belgia-dalam jasa pengeposan.
Reputasiku di Negeri Bukan Dongeng tak perlu ditanya. Meski bukan satu-satunya, namun aku termasuk yang paling diandalkan. Dalam sehari, bisa berpuluh-puluh surat aku sampaikan. Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang dapat berkomunikasi melalui diriku. Seorang ibu yang rindu anaknya, seorang anak yang minta kiriman uang dari rantau, seorang bujang mengirim salam pada gadis pujaannya, seorang kekasih yang memutuskan cinta, seorang pedagang yang mengirim surat peringatan utang, seorang pengangguran melamar kerja, dan masih banyak lagi. Staminaku kuat untuk melakukan itu semua dengan darma bhakti ku bertahun ini. Dan aku,merpati pos bernama James Bond, boleh dengan jumawa mengatakan : tidak ada surat yang tak bisa kuantarkan, seberapa pun jauhnya itu.

***

Aku sedang bertengger di sebuah pohon ketika satu suara memanggilku. Aku mencari asal suara itu. Oh, suara itu berasal dari sebuah gubuk mungil di tengah hutan.
“Tuan James Bond !”
Ternyata yang memanggilku adalah seorang anak perempuan mungil. Kutaksir, ia barulah berusia sepuluh tahun. Sorot matanya terlihat sendu, seperti menyimpan kesedihan. Peenampilannya tak terawat seperti gubuk yang ditempatinya, dapat menggambarkan dari kelas masyarakat mana ia berasal. Tapi aku seorang profesional, tak pandang bulu siapapun klien ku.
“Aku harap Engkau dapat menyampaikan surat ini, Tuan James Bond. Tolonglah, aku sangat berharap”
Di Negeri Bukan Dongeng, seekor merpati pun tak bisa bicara. Maka, setelah mencecap makanan darinya, secepat kilat aku mengepakkan sayapku menjauh. Biasanya, aku baru membaca alamat surat setelah menghilang dari wajah si Pengirim. Kubaca alamat surat yang tertera di amplop : Untuk Tu...apa ?! Untuk Tuhan ???
***
Waktu adalah pembunuh. Reputasi adalah harga sebuah diri. Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh. Aku telah melihat reputasi ku sebagai kehormatan.
Tetapi surat ini...oh, surat ini !
Rasanya seperti meremukkan seluruh keseharian ku. Atau mengejekku dengan cara yang tak ku mengerti. Aku merpati pos pantang untuk kembali pada si Pengirim. Namun aku tak tahu akan ku kemanakan surat ini. Alamat yang tertera terlalu rancu. Terlalu absurd. Terlalu agung. Tak tersentuh.
Waktu berjalan hingga sehari penuh itu ketika pertama kali aku menerima surat itu tanpa bisa kau mengepakkan sayapku kemana pun. Aku tak dapat menerima tugas lainnya sebelum tugas ini selesai. Dan aku harus mengantarkan surat ini sampai ke tujuan. Tapi..bagaimanakah caranya ?
Aku berpikir keras. Sampai sakit kepala dan bulu-bulu indah di sayapku mulai rontok. Aku hampir putus asa dan menghampiri kawananku, kutumpahkan segala gundah gulana ku.
“Mungkin Tuhan itu ada di langit ketujuh”
“Aku tak dapat terbang setinggi itu”
“Mungkin anak kecil itu hanya mengerjaimu saja”
“Tak mungkin”
“Apa ia tak salah tulis ?”
“Tentu saja tidak, tulisan tangannya tebal seperti ditekan. Tulisan penuh kemantapan”
“Apa Tuhan itu nama seseorang ?”
“Tak ada yang berhak menyandang nama seagung itu”
“Coba kita lihat isi suratnya”
“Kita menjaga kerahasiaan bukan, Kawan ?”
Percuma. Tak ada yang bisa membantuku mencari jalan keluar. Dan aku pun tak melihat ada jalan keluar dari masalah ini. Oh bagaimana mungkin anak perempuan itu bisa menimpakanku masalah sepelik ini ?
Hari-hari berlalu, aku serasa lumpuh. Aku tak tahu harus diapakan surat itu. Aku berjalan kesana kemari, menjepit surat itu di jariku dengan bodoh. Galau segalau-galaunya. Akibat aku tak mengantarkan surat satu pun, aku pun tak makan pula selama berhari-hari. Tubuhku melemah, lebih dari itu, aku putus asa.
Kuputuskan untuk kembali pada si Pengirim. Biarlah dunia mengutukku. Aku tak peduli, tersiksa dan terlanjur putus asa.
Gubuk itu masih ada, betambah reyot. Anak perpempuan itu masih ada, sedang menangis sejadi-jadinya. Seekor merpati lain yang kutemui di sekitar mengatakan bahwa ibunda nya telah meninggal dunia. Aku terhenyak. Tubuhku seolah mati rasa.
Sebelum akhirnya aku terhuyung dan pergi sejauh-jauhnya dari Negeri Bukan Dongeng melarikan malu, kubaca surat terkutuk itu.
‘Tuhan,
Ibuku sedang sakit parah. Kumohon kirimkanlah sedikit uang dan obat. Terimakasih, Tuhan’