Sabtu, 11 Desember 2010

Yang Perlu Berubah dan Yang Nggak Perlu Berubah



Saat ini lagi euforia banget sama piala AFF. Yang paling bikin euforia tentu saja karena kemenangan timnas kita berkali-kali. Timnas Indonesia yang tadinya selalu direndahkan sendiri oleh bangsanya, sekarang jadi dielu-elukan banget. Memang, selama gue menonton terus pertandingan lawan Malaysia, Laos, Thailand....permainan timnas Indonesia memang meningkat dibandingkan sebelumnya pertandingan persahabatan lawan Uruguay yang bisa dibilang jelek banget. Meski nggak begitu ngerti tentang bola, tapi gue bisa lihat, dan mungkin semua orang juga gitu, timnas Indonesia lebih terlihat hati-hati sekarang. Bagusnya lagi, mereka pun nggak cepat puas dan teamwork mereka makin kompak. Semoga trus berlanjut deh.

Dan ketika lawan tim gajah putih Thailand, timnas Indonesia menorehkan sejarah baru. Setelah sekian lama menjadi musuh bebuyutan dengan catatan pertandingan yang lumayan malu-maluin. Tercatat, sejak tahun 1970 kalo gak salah, Indonesia sudah 29 kali bertanding lawan Thailand. Dengan kemenangan 26 kali pada Thailand, dan 1 kali seri. Yah, berarti Indonesia baru menang 2 kali melawan Thailand (yuk nangis bareng-bareng). But thanks God, sejarah baru kembali diukir oleh timnas Indonesia dan memuluskan Indonesia maju ke semifinal nanti 19 Desember melawan Filipina.

Sementara itu, kegembiraan kerasa banget oleh bangsa kita, bangsa Indonesia tercinta ini. Semua berita seputar piala AFF jadi headline dimana mana, begitu juga pemain-pemainnya jadi sorotan seperti Irfan Bachdim (ngganteng !), Gonzales, dan Bambang Pamungkas. Gak hanya itu, semua situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook pun jadi rame dengan kegembiraan dan support untuk timnas Indonesia. Istilahnya nih, soccer is in the air now. Sampai-sampai Presiden SBY juga menyempatkan diri untuk nonton. Yah, walaupun harus kita sadari juga, kita menang di kandang sendiri...tentu nggak sedahsyat kalo menang di kandang orang kan...tapi yang jelas, seenggaknya ini menunjukkan perubahan dari timnas Indonesia menjadi lebih baik tentunya. Secara serius, timnas Indonesia melakukan perubahan-perubahan dari segi ketekunan dan kerja keras. Juga sifat yang biasanya cepat puas pun nggak lagi ditunjukkan. Bisa dibilang faktor berubah menjadi lebih baik inilah yang mendongkrak kemenangan Indonesia kemarin. Walaupun nggak dipungkiri, ada beberapa faktor luck juga sih. Anyway, salute for Indonesia. Be the best hopefully then !

Berita lain yang juga jadi headline di media massa adalah berita perubahan keistimewaan provinsi D.I. Yogyakarta. Seperti yang udah diketahui, Pemerintah mencetuskan rencana pengadaan pilkada untuk pemilihan Gubernur Yogyakarta sekaligus menandai perubahan akan status keistimewaan Yogyakarta. Selama ini, Gubernur Yogyakarta dipegang jabatannya oleh Sultan Hamengkubowono, raja Keraton Yogyakarta dan dilaksanankan secara turun temurun. Yogyakarta yang bertitel daerah istimewa memang mendapat pengecualian dalam hal pemilihan kepala daerahnya. Dan so far so good....rakyat Yogyakarta sendiri merasa nyaman jika dipimpin oleh raja mereka. Tidak ada kebijakan raja yang dirasa bertentangan dengan kebijakan pusat. Yogyakarta sebagai daerah istimewa pun tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia, tidak terbentuk monarki atau berniat melepaskan diri dari NKRI. Sebagai kerajaan kecil, Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri dan bisa dibilang merupakan kekayaan Indonesia yang perlu dilestarikan. See ? Nggak ada masalah kan’ ?

Yang jadi maslah justru kenapa pemerintah sepertinya terlihat ngotot banget untuk merubha status keisitimewaan Yogyakarta. Jelas-jelas ini ditentang keras oleh rakyat Yogyakara sendiri. Yaiyalah, selama ratusan tahun mereka sudah hidup dalam suatu kerajaan, menjadikan Sultan sebagai raja dan panutan mereka, tiba-tiba mau diubah begitu saja dalam waktu cepat. Gue sendiri secara pribadi nggak setuju dengan kebijakan pemerintah. Coba ya, mana ada lagi kota seunik Yogyakarta yang masih berbentuk kerajaan dengan segala tradisi nya yang bisa bertahan dari zaman dahulu kala ? Lagipula, apa yuang salah sih dengan status keisitmewaan ? Kita lihat aja Nanggroe Aceh Darussalam, kampung gue nih, yang menerapkan syariat Islam. Kalo lo kesana, bagi yang cewek-cewek nih, jangan sekali-sekali keluar rumah nggak pake kerudung atau berpakaian ketat. Lo nggak bakal nemuin deh ada anak sekolah cewek cowok boncengan pulang bareng...haram hukumnya dan bisa langsung ditangkep sama polisi syariat. Tnetu aja hal ini beda banget kan sama kultur Indonesia sendiri karena memang yang diterapkan di Aceh itu mengikuti hukum asli Islam yang juga diterapkan di Arab Saudi. Tapi kok pemerintah fine-fine aja tuh ? Trus kenapa permasalahin banget sama Yogyakarta sih ? Padahal Yogyakarta itu menerapkan kultur yang Indonesia banget lho. Kita harusnya bangga dan mempertahankan keistimewaan ini. Pantes deh ya kebudayaan kita bisa dicolong bangsa lain...wong kebudayaan sendiri nggak dipertahankan.

Pemerintah harusnya menempatkan diri sebagai listener, gak cuma sebagai speaker. Jangan hanya bicara, mengeluarkan kebijakan ini itu, tapi nggak mau mendengarkan. Selama kontroversi ini bergulir pun, mayoritas rakyat Indonesia dan rakyat Yogya khususnya menolak adanya perubahan status keisitimewaan. Pemerintah harusnya bisa mendengarkan aspirasi dari rakyatnya sendiri, terutama masyarakat Yogyakarta. Coba pikirkan dampaknya jika kebijakan itu benar-benar diterapkan. Keraton Yogyakarta sudah sangat erat dengan kehidupan rakyat Yogya, bahkan keraton pun sudah berdiri lebih dulu sebelum negara ini berdiri. Ibaratkan jika negara kita berganti konstitusi atau pengubahan sistem dan bentuk pemerintahan seperti yang dulu pernah terjadi antara 1945-1950...kacau banget kan jadinya ? Begitu juga Yogyakarta yang sudah beratus tahun dalam lingkungan Keraton. Jika diadakan pilkada pun, tetap aja Sultan akan menang mutlak karena masyarakat Yogya tidak ingin dipimpin selain oleh raja mereka. Lebih buruk lagi, sekarang mulai berkembang wacana dari masyarakat Yogya yang memilih untuk memisahkan diri dari NKRI jika status keistimewaan dihapuskan dan di Yogya tidak ada kerajaan lagi. Memang, di sisi lain pemerintah bermaksud untuk mengembangkan potensi Yogyakarta sendiri dengan pengubahan status tersebut. Namun harus kita lihat juga kultur masyarakat Yogya yang njowo, legowo dan cenderung statis. Mereka sendiri nggak menginginkan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar