Kamis, 22 April 2010

Standar !


Akhir-akhir ini, sering gue dengar kalo udah menyinggung soal helm, ada aja orang yang nanya, “Helm loe udah SNI ?”. Untungnya, helm gue udah SNI. Padahal bener deh, waktu gue beli helm biru bermerk ikan yang buas di tempat obral helm, gue gak kepikiran tuh SNI-SNI an. Secara helm gratisan dari motor gue udah gembel, gue cuma pengen helm yang lebih baik lah. Terus wacana tentang SNI itu merebak dimana-mana. Dan Nyokap gue tiba-tiba sibuk meriksa helm gue, nyari logo SNI tertera disana. Syukur Alhamdulillah...udah SNI (lebaiii.haha).

Gue pikir-pikir, kenapa sih segala sesuatu di dunia ini harus punya standar ? Yang sekolah standar nasional/internasional lah, standar UN lah, eh...sekarang helm aja ada standarnya. Trus, gue inget juga temen gue yang punya standar cowok : musti ganteng, gak malu-maluin kalo diajak jalan, perhatian, dan terutama gak pelit (ho..pliss...).Yak, keanya penting banget sih sebuah standar itu ? Bahkan untuk mendirikan sebuah motor atau sepeda (itu stander,dodol !). Pokoknya, segala sesuatunya dinilai pake standar deh.

Kalo inget teori relativitas Einstein, rasanya kita perlu mikir ulang tentang standar ini. Dalam teori relativitas, Einstein mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini gak bisa diukur secara pasti. Semuanya itu relatif. Mungkin gue bilang Rido Rhoma itu cute (Rido Rhoma lageee), tapi mungkin aja loe ilfil sama Rido Rhoma karena bulu dadanya lebat. Mungkin loe bilang loe malu jadi orang Indonesia karena suka ngaret, tapi mungkin temen loe yang punya kebiasaan ngaret merasa bersyukur terlahir jadi orang Indonesia. Semua itu relatif, guys ! So, emang gak ada standar yang bener-bener pasti nan akurat.

Hampir tiap tahun, beragam protes muncul karena standar nilai UN yang selalu dinaikkan dari tahun ke tahun. Logika kita, keanya kurikulum, pola pengajaran guru, sama aja kea tahun-tahun kemaren. Jadi kenapa mesti dibedain standar nilai UN tahun ini sama tahun kemaren ? Gak adiiill. Tapi bagi Pemerintah, dengan dari tahun ke tahun angka kelulusan UN makin tinggi, dianggap anak-anak Indonesia makin pinter dari tahun ke tahun...dan dinaikkan lah nilai standar UN untuk menguji kepintaran kita. Gue setuju dengan adanya UN, karena UN terbukti bisa mengatrol otak murid, bikin murid tambah rajin belajar, walau tampang-tampangnya jadi selecek selimut yang abis gue pake bobo. Tapi, jujur aja ya, gue gak setuju sama kenaikan standar nilainya dari tahun ke tahun. Please deh, ini sekolah, bukannya lagi mau mecahin rekor.

Beralih dari UN (yang kalo dibahas jadi bikin loe tambah pusing aja), ada juga standar siapa yang disebut warga miskin yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006. Anggota masyarakat dikatakan miskin apabila memenuhi kriteria-kriteria seperti :luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m persegi per orang, lantai tempat tinggal terbuat dari tanah.bambu.kayu murahan, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan wrga lain, hanya mengonsumsi daging satu kali dalam seminggu, hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam satu tahu, de el el. Okeh, gue bukan mau bahas standar warga miskin disini. Tapi liat deh, sebuah standar itu bisa jadi ‘menyesatkan’. Mungkin aja kan, sebuah keluarga yang termasuk standar miskin itu malah merasa diri mereka gak miskin karena mereka memiliki kekayaan hati (ceile...). Pantesan standar dari BPS ini banyak menuai kritik karena gak bener-bener akurat mencerminkan keadaan sebenarnya. Kalo gue yang disuruh bikin standar kea gitu, gue tinggal bilang : standar warga miskin adalah bagi orang yang ngerasa miskin. Jadi, kalo seorang pejabat tinggi masih ngerasa serba kekurangan aja hidupnya...sorry to say, dia itu juga termasuk orang miskin =P.

Di sisi lain, standar memang sengaja dibikin untuk memberi patokan akan sesuatu. Kalo misalnya gak ada standar hari libur nasional yaitu hari Minggu, alangkah kacaunya, Boy. Loe bisa dengan seenaknya masuk sekolah, sehari masuk, sehari enggak. Dan pedekate loe dengan anak kelas sebelah juga jadi gak lancar karena loe gak tahu kapan dia akan meliburkan diri, kapan dia bakal masuk duduk manis di kelas. Kalo gak ada standar tanda berhenti dengan lampu merah, bagi loe-loe yang sering lewat perempatan, pertigaan, dijamin loe akan jadi tahan banting karena sering kecelakaan tubruk-tubrukkan. Ya, standar itu tetap diperlukan !

Tapi....

Janganlah dikau terpaku pada standar. Oke, mungkin standar ortu jaman dulu dalam memilih menantu melihat bibit bebet bobotnya. Seperti yang gue bilang tadi, loe jangan terpaku sama standar, loe bisa tambahin gini : setelah bibit bebet bobotnya oke...langsung babat deh ! Hahaha. Selain itu, keanya gak jaman banget ya kita netapin standar yang terlalu tinggi. Misal, standar loe makan enak ya di restoran mahal. Percayalah, makan di tempat pinggir jalan yang murah sesungguhnya jauh lebih enak karna sedikit ditambahi bumbu rahasia (baca: bau ketek abangnya). Terakhir, sebuah standar itu gak menentukan segalanya. Kata Paul Arden dalam bukunya ‘Whatever You Think, Think The Opposite’ , gagal dalam suatu ujian itu bisa jadi sebuah prestasi. Karena mungkin aja, otak loe terlalu pintar untuk ujian sekecil itu, atau guru loe yang gak bisa ngajarin dengan bener. Jadi...ya itu tadi...sebuah standar gak nentuin segalanya. Mungkin nilai ulangan kita gak memenuhi standar nilai, tapi itu bukanlah segalanya. Anggap aja standar nilai itu jadi bikin kita terpacu untuk dapetin nilai yang lebih baik lagi...tentunya atas usaha sendiri yeee.

Oh ya, tulisan gue ini udah memenuhi standar layak terbit belom ya ? =P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar